Ketika kamu merasakan cinta, maka semuanya terasa indah. Cinta mampu menghapuskan kesedihan, cinta mampu menyembuhkan luka, cinta cinta dan cinta. Mungkin sebagian orang yang sedang jatuh cinta akan menyetujui kalimat-kalimat tadi. Namun bagi orang yang sudah merasakan sakintnya cinta, ia akan mencibir, mengumpat kalimat-kalimat tersebut. Kali ini yang aku rasakan bisa dibilang cinta, bisa juga bukan cinta. Aku merasa sudah berhasil terlepas dari kata cinta dan aku bahagia, aku menikmati kesendirianku saat ini. Namun hari ini, pada jam 3 sore aku mulai merasakan apa itu cinta.
Aku menolehkan kepala ke arah kanan, di situ aku melihat seorang lelaki yang aku kenal duduk menunggu dipanggil oleh suster. Merasa belum yakin aku menoleh sekali lagi, lelaki tersebut pun ikut terkejut. Seketika itu juga jantung berdegup karena melihatnya. Aku mencoba untuk tidak menengoknya kembali, lalu aku mengambil tempat duduk di sebrangnya dan mulai membaca buku yang aku bawa. Rasanya mata ini ingin sekali menengok ke depan, melihatnya namun ego hati melarangnya. Ego hatiku mengingatkan akan sakitnya hatiku pada masa itu, di mana aku mempercayainya bahwa ia adalah takdirku, hidupku, nafasku. Namun yang ia berikan hanya luka, luka yang begitu sakit sekali.
Tahun 2010
"Ta, tadi gue berpapasan dengan Andra bawa motor Vixion ke daerah Green Lake. Memang Andra udah punya motor ya?" Tanya Devi sahabatku.
Aku hanya diam, mungkinkah Andra menemui perempuan itu. Aku tidak ingin tau tentang ini, mana headphone mana? Biarkan telingaku tidak mendengar kabar selanjutnya. Batin hatiku bergejolak.
"Ta, memangnya kamu sudah putus dengan Andra?" Tanya Rizka sahabatku juga.
Aku menghembuskan nafas, menenangkan hatiku untuk kuat mendengar semua ini.
"Kami memang sudah putus. Mungkin Andra ke Green Lake karena ingin bertemu Andin itu."
Sahabatku Devi dan Rizka memelukku seketika, aku menahan air mataku sekuat tenaga namun ia tetap saja jatuh dan aku tidak kuat menahan ini semua. Aku menangis dipelukan Devi dan Rizka.
"Kamu tadi ke Green Lake kan bertemu dengan Andin?" Tanyaku pada Andra di saat makan siang.
"Kapan? Ga ko aku seharian ini sama Adit dkk." Jawab Andra.
"Bohong! Devi dan Rizka melihatmu naik motor Vixion. Sejak kapan kamu punya motor? Itu punya Adit kan? Kamu pinjam ke dia demi bertemu Andin. Sedangkan ke aku mana pernah seperti itu? Aku yang sebagai pacar kamu yang malah menjemput kamu. Kamu keterlaluan Andra." Ucapku penuh dengan emosi.
Andra diam tidak menanggapi ucapanku.
"Lysta, kita putus saja."
Aku benar-benar tidak percaya dengan perkataannya barusan. Kita sudah merangkai mapping masa depan kita. Janji-janji yang dia ucapkan, yang dia ingin wujudkan bersamaku. Aku diam tidak menanggapinya. Aku menunggu penjelasannya.
"Aku sayang Andin."
Kini sudah jelas, ia sudah tidak menyayangiku lagi karna wanita itu. Ia benar-benar sukses membuat hatiku sakit, membuatku harus menelan cinta yang kata dia cinta yang abadi sendirian.
"Oke, kita putus kalau begitu."
Aku pun pergi meninggalkannya sendiri di cafe Kemang. Peduli amat dia pulang dengan apa. Dari situ aku benar-benar menyesal telah jatuh cinta pada seorang lelaki yang tidak bisa diandalkan. Bayangkan saja, dari segi karier aku jauh lebih maju dibanding dia. Aku bekerja di perusahaan multinasional Trakindo sebagai bagian keuangan. Tahun depan aku akan dipromosikan sebagai Manajer. Sedangkan Andra? Ia hanya bekerja di Bank sebagai bagian Programmer yang benar-benar tidak diperhitungkan sama sekali.
Oh, kali ini aku akan menggunakan logika dalam mencintai seseorang. Aku pun bersumpah, suatu saat nanti akan aku tunjukkan bahwa aku tidak bersedih karena dia. Karena itu aku menghabiskan waktuku hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Mengejar kesuksesan demi memperlihatkan kepada Andra, bahwa Andra harus lah menyesal telah memutuskanku.
Kini 2012, 2 tahun semenjak kejadian itu aku bertemunya di rumah sakit. Jantungku masih berdebar-debar ketika melihatnya. Sahabatku Faisal berkata, itu tandanya aku masih menyimpan rasa sayangku. Namun aku mengabaikannya.
Andra mendekatiku duduk di sampingku. Aku tidak mengalihkan pandanganku, aku tetap berkonsentrasi dengan buku bacaanku.
"Kamu sakit apa?" Tanya Andra.
"Ga ko cuma flu." Jawabku sepenuhnya sambil meneruskan membaca.
"Callysta Syahdanian." Teriak suster memanggil namaku.
Aku berdiri, berjalan meninggalkannya tanpa berkata apa pun. Aku berjalan ke arah parkir di situ aku melihat Andra.
"Kamu mau pulang? Udah makan?"
"Aku mau kembali ke kantor."
"Lysta..." Andra pun berdiri dihadapanku menghentikan langkahku.
"Aku minta maaf atas kesalahanku dulu."
Aku melihat matanya berair tanda bahwa dia memang benar-benar menyesal. Aku menjelajahi matanya mencari kebohongan di dalamnya. Ternyata dia memang benar-benar jujur dan menyesali semuanya. Aku tak mengatakan apa pun, aku berjalan menabrak bahunya.
Di mobil aku merenungi pertemuanku dengan Andra. Tiba-tiba bayangan Chris mampir di kepalaku. Lalu dengan usil aku membandingkan Andra dan Chris. Christopher Anggara Syadiran, aku bertemunya pada saat Launching baju Andira Larasati Syadiran yang tak lain kakaknya Chris. Aku ikut serta karena sahabatku Devi adalah teman akrab Dira. Saat itu lah aku dikenalkan oleh Chris. Aku melihat Chris merupakan lelaki yang bertanggung jawab atas apa yang ia katakan, yang ia lakukan. Chris bekerja sebagai direktur keuangan di Syadiran Group yaitu perusahaan keluarganya.
Aku menyadari bahwa keluarga Chris sangat memegangteguh tata krama. Ini semua dicerminkan dari sikap masing-masing anggota keluarganya. Chris yang begitu perhatian mencoba mendekatiku, sesekali ia mengirimkan sms ucapan selamat pagi, selamat malam. Kemarin Chris menyatakan perasaannya kepadaku. Ia tidak ingin berpacaran, ia sudah menjatuhkan pilihannya kepadaku. Ia memintaku menjadi istrinya. Aku tidak menjawabnya, entahlah apa jalan pikiranku saat ini. Aku masih belum mau berkenalan kembali dengan cinta.
Seminggu kemudian ...
Aku dan Andra kini sudah mulai berkomunikasi. Seminggu ini kami sudah layaknya seperti pasangan kekasih. Namun Andra masih seperti dulu, masih belum berubah. Ia belum mempunyai goal dalam hidupnya. Devi marah melihatku jalan dengan Andra. Ia benar-benar kecewa.
"Mata lo kelilipan apa sih ta? Udah bagus-bagus Chris di depan mata. Chris itu suami idaman para wanita tau. Sedangkan Andra? Ampun deh ta, gue bener-bener kecewa sama lo ta." Ujar Devi suatu sore.
Kata-kata Devi benar-benar menggangguku. Chris memang tidak menghubungiku. Dia sepertinya paham bahwa aku hanya menganggapnya teman, tidak ada perasaan apa pun di sana.
Sore ini aku menjemput Andra. Ya lagi-lagi aku yang sebagai lelaki. Dalam perjalanan aku tidak berkata apa pun. Tiba-tiba handphoneku berdering, Dira meneleponku.
"Ta, ada di mana? Di rumah lagi ada syukuran Eyang nih ke sini dong, Devi juga mau ke sini. Nanti gue suruh Chris yang jemput lo ya oke."
"Tapi Ra gue ...." tut tut tut. Pembicaraan di putus begitu saja.
Aku bingung benar-benar bingung. Memang aku sudah di rumah, tadi Andra sempat mengajakku makan malam namun aku tolak, aku ingin istirahat. Tiba-tiba bel rumah pun berbunyi, aku terloncat saking kagetnya. Jantungku berdebar seketika, aku membuka pintu di depanku sudah ada Chris. Aku terpaku, Chris hanya tersenyum.
"Hei, Dira maksa gue nih buat jemput lo padahal gue ...."
Belum selesai Chris berbicara, aku sudah memeluknya.
"Chris, tawaranmu waktu itu masih berlaku?" Tanyaku masih memeluknya.
Chris pun melepaskan pelukannya dan ia menatapku lekat-lekat.
"Tentu saja Callysta Syahdanian." Ucap Chris sambil menarik hidungku bercanda.
Aku pun tertawa dan memeluknya. Kini aku sudah tidak takut lagi berkenalan dengan cinta. Selama itu lelaki yang baik, lelaki yang bisa dipercaya maka aku akan menikmati cinta itu. Dan Andra, ia masih belum berubah masih seperti dulu. Chris lah yang aku butuhkan. Dan aku tidak akan takut lagi untuk jatuh cinta.